Tragedi Kanjuruhan, Amnesty Internasional Fokus Penggunaan Gas Air Mata

Nasional

NOTULA – Insiden Kanjuruhan, kerusuhan mematikan di Malang, tidak saja menyulut kepedihan mendalam bagi rakyat Indonesia, tetapi juga dunia. Bahkan Amnesty Internasional menyorot kasus itu, terutama penggunaan gas air mata.

Pada situs resminya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, Minggu (2/10/22), mengatakan, gas air mata hanya digunakan untuk membubarkan massa saat metode lain gagal.

“Jadi, gas air mata hanya boleh digunakan untuk membubarkan massa ketika kekerasan meluas dan ketika metode lain gagal. (Sebelumnya) orang-orang harus diperingatkan bahwa gas air mata akan digunakan, sehingga menyebar,” katanya.

Dia menegaskan, penggunaan gas air mata tidak boleh ditembakkan di ruang terbatas. “Pedoman keselamatan stadion FIFA juga melarang membawa atau menggunakan ‘gas pengendali massa’ oleh petugas lapangan atau polisi,” lanjutnya.

Terkait lebih dari 125 orang tewas saat kerusuhan di Stadion Kanjuruhan, dan ratusan lainnya luka-luka, Usman Hamid menyatakan penyesalan dan duka cita terdalam. “Kami ikut belasungkawa kepada keluarga korban. Tak ada yang harus kehilangan nyawa di pertandingan sepak bola,” katanya.

Dia juga memastikan bahwa Itu tragedi terbesar dalam sejarah sepak bola. Dia juga meminta segera dilakukan penyelidikan mendalam, terutama tentang bagaimana batas penggunaan gas air mata pada tragedi itu.

“Kami minta pihak berwenang melakukan penyelidikan cepat, menyeluruh, dan independen terhadap penggunaan gas air mata di stadion, dan memastikan bahwa mereka yang terbukti melakukan pelanggaran diadili di pengadilan terbuka, tidak hanya menerima sanksi internal atau administratif,” katanya.

Polisi diharapkan meninjau kembali kebijakan penggunaan gas air mata dan ‘senjata yang tidak terlalu mematikan’. Sungguh mengenaskan bila aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru menjadi penyebab kematian.

“Hilangnya nyawa tidak bisa dibiarkan begitu saja. Polisi telah menyatakan bahwa kematian terjadi setelah polisi menggunakan gas air mata pada kerumunan yang mengakibatkan penyerbuan di pintu keluar stadion,” lanjut Hamid.

Seperti diketahui, Sabtu (1/10/22) malam, pertandingan sepak bola antara Arema FC vs Persebaya, di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, berakhir dengan kekalahan bagi Arema.

Dari video yang beredar, polisi tampak berupaya membubarkan kerusuhan. Suporter yang turun ke lapangan diusir dan diperintahkan meniggalkan lapangan. Ratusan orang berlarian ke arah tribun. Polisi kemudian menembakkan gas air mata ke tribun penonton.

Kapolda Jawa Timur, Irjen Nico Afinta, kepada pers mengatakan, gas air mata yang menyebabkan para pendukung menuju ke satu pintu keluar.

Seperti dikutip dari rmol.id, Komite Hak Asasi Manusia PBB dalam Komentar Umum 37 telah menguraikan dengan jelas mengenai penggunaan kekuatan yang harus dipatuhi dengan ketat.

Penggunaan gas air mata hanya akan proporsional dalam menanggapi insiden kekerasan yang meluas, dan hanya jika metode lain untuk membubarkan majelis telah gagal atau akan gagal.

Jenis peralatan yang digunakan untuk membubarkan kerusuhan harus dipertimbangkan dengan hati-hati dan digunakan hanya jika diperlukan, proporsional dan sah.

Peralatan kepolisian dan keamanan – seperti gas air mata, yang sering digambarkan sebagai senjata yang “kurang mematikan” – dapat mengakibatkan cedera serius, dan bahkan kematian.

Penggunaan kekerasan berdampak langsung pada hak untuk hidup, seperti tercantum dalam Pasal 6 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang wajib dipatuhi.

Karena itu, penggunaan kekuatan tunduk pada perlindungan hak asasi manusia yang ketat sebagaimana diatur dalam Kode Etik PBB untuk Pejabat Penegak Hukum (1979) dan Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (1990).

Penggunaan kekuatan oleh aparat penegak hukum di Indonesia diatur lebih lanjut oleh Peraturan Kapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Polisi (No 1/2009).

Amnesty International memahami situasi yang kompleks yang sering dihadapi oleh para pejabat penegak hukum ketika menjalankan tugas mereka. Untuk itu, mereka harus memastikan penghormatan penuh atas hak untuk hidup dan keamanan semua orang, termasuk mereka yang dicurigai melakukan kejahatan.