
ilustrasi.(rmol.id)
NOTULA – Dorongan berbagai kalangan agar presidential threshold (Preshold) atau ambang batas pencalonan nol persen didasari banyak faktor, bukan omong kosong.
Penerapan Preshold 20 persen membuat biaya politik mahal dan mengakibatkan kepala daerah maupun anggota legislatif melakukan korupsi usai terpilih, demi mengembalikan modal yang dikeluarkan saat pencalonan.
Preshold juga diterapkan saat pemilihan presiden (Pilpres), dimana seorang calon presiden maupun wakil presiden harus diusung partai politik maupun gabungan partai politik dengan 20 persen kursi DPR.
Berdasar survei KPK, pendanaan Pilkada terjadi akibat adanya gap antara biaya Pilkada dan kemampuan harta dari masing-masing kontestan. Dengan kata lain, harta pasangan calon kepala daerah tak mencukupi untuk ongkos politik. Rata-rata kekayaan pasangan calon kepala daerah jika digabungkan sebesar Rp 18 miliar, bahkan ada yang kurang dari Rp 15 miliar.
Hasil indepth interview menyebutkan, biaya Pilkada yang harus dikeluarkan sebesar Rp 5-10 miliar. Untuk memenangkan Pilkada tingkat bupati minimal dibutuhkan Rp 65 miliar. Demikian hasil survei KPK, seperti dikutip dari rmol.id, Selasa (14/12/21) siang.
Hasil survei mengambarkan, presidential threshold 20 persen akhirnya membuat para kepala daerah ‘dikuasi’ para donatur alias sponsor.
Fakta itu tertuang dari survei yang dilakukan KPK pada pelaksanaan Pilkada 2015, 2017 dan 2018, yang menggambarkan fakta miris, lantaran 82,3 persen kontestan Pilkada 2015 dibiayai donatur atau sponsor.
Sementara untuk 2017, sekitar 82,6 persen dan 2018 sebesar 70,3 persen kepala daerah maju dibiayai pihak ketiga. Para donatur alias sponsor itu tidak hanya terbatas saat masa kampanye saja.
Dampak dari hal ini, berdasar survei itu, para kepala daerah menjadi tersandera. Sebab, para penyandang dana atau sponsor mengharapkan sejumlah hal.
Pertama, donatur menginginkan kemudahan perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan. Keinginan agar perizinan lebih mudah angkanya tiap tahun meningkat, 63,9 persen (2015), 75,0 persen (2017) dan 95,4 persen (2018).
Lalu diberi kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintah (pengadaan barang dan jasa). 64,6 persen (2015), 73,3 persen (2017) dan 90,7 persen (2018).
Selanjutnya, para donatur menginginkan kepala daerah yang telah dibiayai agar memberi keamanan saat menjalankan bisnis yang sudah berjalan. 61,5 persen (2015), 76,7 persen (2017) dan 84,8 persen (2018).
Donatur atau sponsor juga ingin diberi kemudahan terhadap akses untuk menjabat di pemerintahan daerah maupun BUMD. Hasilnya, 60,1 persen (2015), 56,81 persen (2017) dan 81,5 persen (2018).
Selin itu juga kemudahan akses dalam menentukan kebijakan atau peraturan daerah. Yakni, 49,3 persen (2015), 42,7 persen (2017) dan 72,2 persen (2018). Dan menginginkan agar dapat prioritas bantuan langsung. 51,5 persen (2015), 22,7 persen (2017) dan 62,3 persen.
Kenginginan yang lain, masih berasar hasil survei internal KPK, ialah mendapatkan prioritas dana bantuan sosial atau hibah yang bersumber dari APBD. Dalam hal ini yang paling tinggi di 2018, dengan nilai 56,3 persen.