
ilustrasi.(rmol.id)
NOTULA – Para penyelenggara negara, termasuk pimpinan partai hendaknya berkomitmen dengan penyelenggaraan Pemilu berdasarkan konsitusi UUD 1945 dan UU yang telah ditetapkan.
Pernyataan itu disampaikan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, yang turut angkat bicara terkait usulan penundaan Pemilu 2024 oleh sejumlah pimpinan Parpol.
Menurut Amirsyah, jadwal Pelaksanaan Pemilu 2024 sudah sesuai UU. Dia mengatakan, Pemilu serentak yang dilaksanakan tepat waktu dapat mewujudkan kemaslahatan umat dan bangsa.
“Sebagai negara demokrasi yang berasal dari, oleh dan untuk rakyat, tidak elok terjadi tarik ulur penyelenggaraan Pemilu,” kata ulama yang karib disapa Buya Amirsyah, Senin (28/2/22).
Yang dia khawatirkan, pro kontra penundaan Pemilu membuat masyarakat terbelah. Ia tidak ingin penundaan Pemilu menjadi preseden kurang baik dalam membangun demokrasi ke depan.
Dia juga mengajak masyarakat agar mendukung Pemilu Maslahat berdasarkan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia awal November tahun lalu.
Amirsyah mengingatkan, salah satu landasan pelaksanaan Pemilu Maslahat berdasarkan UUD 1945 diantaranya pasal 7 tentang Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
“Ini salah satu dasar Pemilu maslahat yang terhindar dari praktik kecurangan menjadi Pemilu yang jujur dan adil (Jurdil),” pungkas Amirsyah, seperti dikutip dari rmol.id.
Tanya ke Rakyat
Secara terpisah, Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, menyampaikan, sejauh ini MPR belum membahas secara formal terkait wacana itu. Meski begitu, unsur pimpinan lembaga tinggi negara itu sudah mulai membicarakan secara non formal melalui Whatsapp grup.
“Pimpinan MPR mengikuti wacana yang ada di ruang publik dan media, kemudian saling memberikan komentar di Whatsapp grup (WAG) internal. Kalau terkait konten komentarnya, ya tentu sesuai sikap partai masing-masing,” kata Arsul di Jakarta, Senin (28/2/22).
Meski penundaan Pemilu bisa dilakukan dengan mengubah alias mengamandemen UUD 1945 oleh MPR, kata Arsul, tapi secara moral konstitusi tidak pas jika lembaganya tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan.
UUD Negara RI 1945, sambungnya, telah menetapkan bahwa pemegang kedaulatan di Indonesia adalah rakyat, sehingga menunda Pemilu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para penerima mandat yang akan melaksanakan kedaulatan untuk masa 5 tahun.
“Saya melihat tidak elok ketika MPR sebagai pemegang mandat kedaulatan, justru mereduksi hak pemilik kedaulatan yaitu rakyat, jika tanpa bertanya kepada rakyat yang memiliki kedaulatan,” ujarnya.
Sebab itu dia menilai tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD Negara RI 1945, tanpa bertanya kepada rakyat, apakah setuju hak konstitusionalnya untuk memilih eksekutif maupun legislatif ditunda.