Pengusaha Tiongkok di Bali Harus Taati Aturan Indonesia

Nasional

NOTULA – Sedikitnya 16 toko berjaringan asal Tiongkok ditutup di Pemerintah Provinsi Bali karena dianggap melakukan praktik tidak sehat dalam berdagang, dan tidak berizin.

Keenam belas toko itu bergerak di bidang pariwisata, mulai dari toko, art shop, travel, dan sebagainya. Selain tidak berizin, toko-toko itu juga merusak pasar lokal dalam berdagang. Mereka mematok harga di bawah harga pasaran yang ada di Bali.

Salah satu yang turut menjadi sorotan Gubernur Bali, Wayan Koster, adalah temuan penggunaan aplikasi WeChat dalam setiap transaksi yang dilakukan toko-toko itu.

“Mereka mengaku menggunakan rupiah, tapi pembayaran mereka ternyata pakai sistem Tiongkok, kami sempat foto. Pakai WeChat, jadi tidak kena pajak dan tidak ada devisa masuk,” kata Wakil Gubernur Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace), saat melakukan sidak.

Menanggapi hal itu pengamat politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH), Emrus Sihombing, menilai, negara lain, termasuk Tiongkok, harus menggunakan mata uang Rupiah jika bertransaksi di Indonesia. Aturan itu harus ditaati siapapun warga asing yang masuk negeri ini.

“Di era pasar global, transaksi apapun dari luar bisa masuk. Tapi harus tetap menggunakan Rupiah jika dilakukan di Indonesia. Negara lain harus taat itu,” katanya, sesaat lalu, Selasa (20/11).

Dia juga meminta pemerintah RI tegas dalam melawan praktik curang pengusaha Tiongkok itu. Tidak boleh ada kelonggaran bagi warga asing bertransaksi menggunakan mata uang selain Rupiah bertransaksi di dalam negeri.

“Pemerintah harus tegas, hitam atau putih,” tegasnya, seperti dikutip dari rmol.co.